”Sepak bola tak berhenti di menit ke-90 dan hasil akhirnya saja. Lebih jauh dari itu, ada cerita-cerita tentang hidup, persahabatan, ekspresi, dan bagaimana sebuah klub bisa menjadi pusat semesta bagi banyak orang. Dan dari pinggir lapangan itulah, Catenaccio mencatatnya.”
Saya bukanlah siapa-siapa di dunia sepak bola. Bukan pemain, bukan pelatih, bukan juga pengurus klub. Saya hanya seorang penggemar biasa, yang lahir dan besar di Kudus, hingga secara alamiah menjadi pendukung Persiku Kudus. Sejak beranjak remaja, saya mencintai Persiku Kudus — klub sepak bola yang mungkin tidak banyak disebut di layar kaca atau media mainstream pada umumnya, namun selalu punya tempat istimewa di hati saya, yang tentu saja sebagai warga Kabupaten Kudus.
Dua tahun terakhir, kecintaan itu menemukan bentuk lain. Bersama beberapa teman, saya ikut merintis sebuah gerakan kecil. Memang, sejak awal saya bukanlah bagian dari pencetus, namun saya bersyukur, atas keterlibatan di fase awal untuk sama-sama merintis gerakan ini. Saya menempatkan hormat kepada teman-teman saya, atas segala pikiran dan gagasan awalnya.
Ya, gagasan untuk membuat sebuah media alternatif bernama Catenaccio. Kupikir tak perlu dijelaskan arti namanya. Tak ada sangkut pautnya istilah gaya bermain sepak bola itu dalam filosofi permainan yang dimiliki Persiku Kudus, tapi bagi teman saya mungkin lain, dan perlu judul sendiri untuk menceritakannya, haha.

Mini flag Catenaccio di pagar tribun sayap barat Stadion Wergu Wetan Kudus.
Media alternatif ini lahir dari obrolan-obrolan lepas, atas rasa resah yang sama, dan inspirasi dari media-media alternatif suporter di kota lain yang sedikit banyak kami pernah tahu. Beberapa di antara kami memiliki latar belakang sebagai perantau yang menempuh pendidikan di luar Kudus, tak begitu jauh, namun banyak hal baru yang kami dapat. Kami mengamati pergerakan media alternatif yang lebih dulu tumbuh di kota-kota lain. Melihat komunitas suporter yang membuat zine, menulis kritik sosial lewat sepak bola, dan mengelola media berwujud fanspage tentang klub kebanggaannya masing-masing. Dan dari situlah muncul sebuah gagasan awal.
Secara kolektif, kami menyuarakan sesuatu tentang Persiku Kudus, tentang kota kami, dan tentang kecintaan yang kami harap tak berhenti untuk terpendam, hingga hanya tersimpan diam-diam. Tak berhenti di situ, dalam menjalankan gerakan ini, ada arsip-arsip yang kami percayai akan menjadi abadi, ada untaian aksara yang akhirnya mengingatkan bahwa Persiku Kudus dan ekosistem di sekitarnya layak diberi suara.
Dari kedai kopi hingga sebatas obrolan di WhatsApps, benih-benih itu mulai tumbuh. Kami mulai dengan hal-hal kecil — menulis esai tentang Persiku, suasana stadion, dan sesekali menyusun statistik pertandingan dari catatan tangan. Senada dengan apa yang dicetuskan, sebagai media alternatif yang bersuara lewat kata, kami membuat zine-zine sederhana untuk dibagikan sebelum kick-off. Tak ada target muluk, yang penting jalan dulu.

Zine Catenaccio edisi Persiku Kudus vs Bhayangkara FC (8/12/2024).
Bersama teman-teman, saya turut untuk tumbuh bersama dalam media ini. Saya mensyukuri penuh atas berkembangnya media ini. Bisa saya akui, Catenaccio juga menjadi tempat belajar yang tak saya temui lagi di bangku pendidikan formal. Rutinitas untuk kembali menulis itu perlahan muncul. Kemudian, secara beriringan, ini mengasah pola pikir kritis saya untuk merangkai argumen, melihat dan membaca situasi klub, juga sepintas menjamah aspek-aspek teknis dan statistik. Bukan cukup saya pribadi, saya mengamati, bahwa teman-teman yang berjalan bersama di sini juga turut merasakan hal serupa. Mereka turut menulis, saling memberi masukan, memberi ide-ide, belajar statistik sepak bola, serta secara lebih lihai mengasah kemampuan desain grafis maupun layouting-nya.

Tangkapan layar dari media sosial Catenaccio. Mengulas batalnya renovasi Std. Wergu Wetan di tahun 2025.
Tak disangka, karya-karya kecil ini pelan-pelan membuka jalan. Beberapa dari kami mulai mendapat pengakuan dari luar. Pada suatu ketika saya mendengar kabar, bahwa satu di antara kami mendapat tawaran pekerjaan dari sebuah perusahaan lokal, atas hasil desain-desainnya di media ini. Syukur Alhamdulillah.
Di antara itu semua, yang menjadi hal paling penting dan paling mengena, adalah rasa memiliki serta solidaritas. Ada pertemuan yang terjadi, persahabatan yang terjalin, dan hari-hari yang di lalui bersama. Dari sekadar teman setribun saat menyaksikan Persiku berlaga, menjadi teman diskusi, menulis, bertukar ide, dan sama-sama dalam produktivitas positif.
Berjalannya Catenaccio tidak selalu mudah. Di balik zine yang dibagikan, tiap karya yang diunggah, dan goresan desain di linimasi, ada kerja-kerja kolektif yang kami lakukan di tengah keterbatasan. Sesekali, ada pula suara-suara sumbang dari luar, haha.
Beberapa waktu lalu mungkin ada sponsor dan iuran kolektif yang masuk untuk mendukung pergerakan ini, saya ucapkan terima kasih dan hormat untuk mereka yang berpartisipasi. Namun tidak dipungkiri, rasa semangat yang naik turun, hingga lelah dari rutinitas masing-masing juga sedikit banyak berpengaruh atas ritme media ini. Ada masa-masa kehabisan ide, khawatir akan apa yang kami suarakan, bingung membuat konten apa, dan tak jarang ”kerja kelompok” kami hanya berlangsung dengan rasan-rasan, juga analisis gembel lainnya yang mungkin terekam dalam tembok-tembok di kedai kopi. Tapi dari sanalah kami belajar, bagaimana memanajemen waktu, membagi peran, dan saling melengkapi ide masing-masing agar apa yang sudah dicetuskan ini akan senantiasa terus berjalan. Bisa dibilang, inilah kompromi dan dedikasi, ckck.
Berulang lagi saya katakan, bahwa saya merasa beruntung dan bersyukur menjadi bagian dari pergerakan ini sejak awal. Di Catenaccio bukan soal siapa yang paling banyak menulis, atau karya siapa yang paling sering muncul di linimasa. Ini soal merawat sebuah jalinan persahabatan, soal mencintai tim kebangaan Persiku Kudus dalam kadar positif, dan soal merawat ruang ekspresi sederhana agar tetap tumbuh, yang tanpa memaksa kesempurnaan.
Saya yakin, bahwa rasa cinta teman-teman terhadap Persiku tidak akan pernah hilang, atau bahkan baru berhenti saat akhir menutup mata. Tapi jika berbicara Catenaccio mungkin lain soal. Saya tidak tahu sampai kapan Catenaccio akan terus berjalan. Mungkin suatu hari nanti, kami semua akan sibuk dengan hidup masing-masing. Tapi saya percaya, jejak yang ditinggalkan dari sini ini tidak akan hilang begitu saja. Ia akan tetap abadi dalam tulisan-tulisan, juga dalam karya-karya yang tersebar.
Akhirnya, dari sinilah sebuah cerita akan terus melekat di kenangan kami, yang mungkin akan menjadi kisah di masa depan, sebagai pendukung Macan Muria!
