Euforia yang Naik, atau Panpel yang Bobrok?
  • Beranda
  • .
  • Euforia yang Naik, atau Panpel yang Bobrok?
  • .

Euforia yang Naik, atau Panpel yang Bobrok?

Euforia yang Naik, atau Panpel yang Bobrok?

Euforia yang Naik, atau Panpel yang Bobrok?

Sepak bola bukan sekadar permainan dan hasil. Lebih dari itu, sepak bola telah menjelma bak ruang kebersamaan, tempat ribuan orang menaruh cinta maupun harap, bahkan tak sedikit dari mereka rela mengorbankan waktu, tenaga, hingga materi hanya untuk mendukung tim kebanggaannya. 

 

Awal musim, euforia penggemar sepak bola masyarakat Kudus, terutama Persiku fans, melonjak sangat tinggi. Apalagi di pekan pertama Persiku berhasil mencuri tiga poin dari PSIS Semarang dengan skor yang mencolok 4-0. Euforia itu berlanjut di pekan kedua sekaligus pertandingan home pertama Persiku Kudus, kala berhadapan dengan PSS Sleman. Namun euforia tersebut justru menimbulkan sebuah ironi. Banyak catatan minor yang disematkan kepada panitia penyelenggara pertandingan (baca: panpel).

 

Ketidaksiapan panpel pertandingan dalam penjualan tiket contohnya. Banyak dari Persiku fans mengeluhkan perihal sistematika penjualan tiket, terutama tiket offline jelang pertandingan menghadapi PSS. Terlalu sedikitnya kuota tiket online yang diberikan, membuat banyak dari penggemar Persiku beralih untuk berebut tiket offline. Tiket box dibuka pukul 14.00 WIB pada hari Jum’at (19/9), namun banyak yang sudah mengantre satu jam sebelum tiket box dibuka. Sedikitnya tiket box yang dibuka menimbulkan penumpukan masa yang berkepanjangan. Hal ini menunjukkan bahwa panpel pertandingan tidak dapat menunjukkan kesiapannya dalam mengantisipasi hal tersebut. Padahal kasus seperti ini telah terjadi di musim lalu khususnya pada pertandingan besar, mereka seolah tidak belajar dari pengalaman yang lalu. Lagi-lagi hal ini menimbulkan pertanyaan besar, apakah mereka tidak ada tindakan high risk assessment sebelumnya? 

 

Perubahan sistematika pembelian tiket offline di waktu yang singkat juga menunjukkan ketidaksiapan panpel pertandingan. Di awal penjualan tiket, satu orang boleh membeli tiket dengan beberapa NIK, lalu diubah menjadi satu orang hanya boleh tiga NIK, dan diubah lagi menjadi satu orang satu NIK. jika melihat syarat dan ketentuan pembelian tiket offline yang diunggah pada akun resmi Persiku Kudus menyebutkan bahwa 1 orang dan 1 NIK hanya berhak mendapatkan 1 tiket. Sebuah tindakan konsisten dalam ketidak-konsistenan oleh pihak panpel. Hal ini berakibat kekecewaan para pecinta sepak bola Kudus yang telah merelakan waktunya untuk berbondong-bondong antre, namun harus menelan pil pahit tidak kebagian tiket pertandingan.

 

Tidak hanya itu, ketidaksiapan panpel pertandingan dalam penjualan tiket, menyebabkan banyak dari Persiku fans yang kesulitan dalam mendapatkan tiket pertandingan. Hal ini dimanfaatkan oleh calo tiket yang masih banyak dijumpai kala pertandingan Persiku vs PSS kemarin. Mereka memanfaatkan antusiasme pada pertandingan ini dengan menjual tiket yang dibandrol dengan harga yang sangat tidak masuk akal. Bahkan ada calo yang menghargai tiket sekitar ratusan ribu rupiah, yo jelas munggah kaji tenan carane ngene iki. Pertanyaan yang sangat mendasar, mereka dapat tiket dari mana? Sampai detik ini tidak ada satupun klarifikasi atau statement yang keluar dari mulut mereka. 

 

Kemudian, ada kasus banyak penonton yang telah menggenggam tiket di tangan tidak diperbolehkan masuk oleh pihak panpel dengan dalih stadion telah penuh sesak. Ditambah lagi, malam sebelum pertandingan dimulai, tiba-tiba ada pengumuman pembukaan tiket online tanpa ada penjelasan apapun. Sangat lucu sekali, kenapa tidak sekalian dijual di awal sekalian dengan penjualan di periode pertama atau juga dibuat jadwal terkait dengan penjualan tiket selanjutnya. Apakah mau memanfaatkan momentum euforia antusias yang naik dengan memaksakan kapasitas stadion yang berakibat jumlah penonton melebihi kapasitas. Mereka pun bungkam terkait dengan kuota tiket yang dijual. Dengan tindakan tersebut jelas tidak berkaca dari kejadian musibah akibat kelebihan daya tampung stadion yang bisa menelan korban jiwa. Jelas ini lagi-lagi menjadi kebobrokan oleh pihak panpel yang bersifat menguntungkan satu pihak sehingga dapat membahayakan para penonton yang hadir di stadion.

 

Kebijakan panpel pertandingan dalam penjualan tiket ini menimbulkan beberapa pertanyaan, mengapa syarat pembelian tiket berubah-ubah? Mengapa tidak semua dijual online saja? dan kenapa masih banyak calo tiket? Padahal di musim kemarin, kala Persiku juga melakoni laga besar, hal-hal seperti penumpukan massa, kesulitan mendapatkan tiket, dan banyaknya calo sudah menjadi suatu masalah. Apakah panpel pertandingan tidak belajar dari hal tersebut? Jika seperti itu, apakah di laga-laga besar berikutnya masih akan terjadi seperti ini? Padahal musim ini menjadi musim kedua pihak panpel dalam mengelola tiket pertandingan di kasta kedua liga Indonesia, seharusnya mereka telah melakukan evaluasi dari pengalaman sebelumnya bukannya malah mengalami kemunduran.

 

Hal ini secara pasti sangat merugikan kita sebagai penggemar Persiku yang ingin menyaksikan tim kebanggaannya berlaga. Mereka diperlakukan hanya sebatas customer yang membeli tiket untuk menonton namun mereka tidak diberikan kemudahan maupun kenyamanan baik dalam memperoleh tiket atau saat pertandingan berlangsung. Harapannya semoga, kedepannya panpel pertandingan segera berbenah dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan seperti di atas.

Make a Comment

Your email address will not be published. Required field are marked*